TOLAK KONDOMISASI, INDONESIA BERMORAL

Sepertinya kasus dokter ayu bleum sepi dari pemberitaan media, tapi sekarang #Kondomisasi udah rame lagi. Antara shock dan aneh pas tahu ada gerakan bagi-bagi kondom depan bunderan kampus kemarin (Sabtu) sore. Kok bisa sengaja dibagiin ke mahasiswa? Kalau pun ada orang umum sekitar situ, tapi asumsinya tetep, itu wilayah mahasiswa. Jadi yaa seolah-olah khusus buat mahasiswa. Kalo gini, bukannya nekan angka seks bebas, justru malah ikut menggencarkan. Mengisyaratkan bahwa orang-orang silahkan melakukan seks bebas dan berganti-ganti pasangan, asal pakai kondom. Miris!

HIV/AIDS bukan lagi hal baru yang ramai dibicarakan di Indonesia, bahkan dunia. Sebelumnya, aku pengen sedikit mbahas ttg HIV/AIDS. HIV adalah virus yang menyerang sistem imun tubuh manusia. AIDS itu bentuk infeksi terparah dari virus HIV. Jadi, seorang yang terkena virus HIV belum tentu bisa juga mengindap AIDS. Butuh waktu minimal satu tahun setelah virus HIV tadi berkembang dalam tubuh lalu menjadi AIDS. Sebagian pendapat lagi ada yang bilang kalau seseorang yang sudah terkena virus HIV tetap bisa bertahan hidup cukup lama asal ia mengubah pola hidup (seks) nya menjadi lebih sehat, serta mengkonsumsi obat secara teratur. Akan tetapi bukan itu poinnya. Ketika seseorang sudah terkena virus HIV, maka sistem kekebalan tubuhnya akan sangat lemah. Bahkan flu saja bisa menyebabkan dia sangat lemah dan sembuhnya sangat lama, atau bahkan kematian.

Jadi teringat suatu cerita. Dulu, aku punya seorang kenalan yang lumayan dekat meninggal dunia karena virus HIV. Tapi sebenarnya, to be honest, virus HIV-nya kala itu belum sangat parah. Bahkan belum sampai setahun. Baru berapa bulan saja. Tapi karena imunnya sangat lemah dan dia agak terlambat menyadari, akhirnya dia terserang penyakit lain dan meninggal dunia. Sedih sekali, waktu itu tubuhnya menjadi sangat kurus dan wajahnya sangat gelap, pucat, kusam.

Lantas penyebabnya apa sebelumnya sampai bisa terkena virus HIV? Kalau menurut literatur yang aku baca, bisa karena seks bebas, berganti-ganti pasangan, penggunaan jarum suntik dan transfusi darah yang tidak steril, serta keturunan dari ibu yang terkena AIDS. Maka jangan salah, meskipun kelompok resiko tinggi adalah para pekerja seks komersial, lelaki hidung belang, dan mereka2 yang sering berganti-ganti pasangan, tapi kelompok resiko rendah juga bisa kena. Mungkin sebutannya jadi korban. Kalau kata Bang Napi, waspadalah.

Sedikit cerita lagi tentang ‘korban’ tadi. Jadi waktu itu ada sebuah seminar di kampus yang mendatangkan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Seorang wanita yang jika dilihat dari tampilan luar, tampak sangat normal. Wanita tadi sudah tertular HIV sejak beberapa tahun yang lalu. Pertama kali mengetahui bahwa ia terkena virus HIV, ia sangat shock. Ia sangat yakin bahwa ia memiliki kehidupan seks yang sehat. Ia pula selalu menjaga pola hidup lainnya dan rutin mengkonsumsi makanan yang bernutrisi. Usut punya usut, ternyata ia tertular dari suaminya.

Itu baru satu contoh cerita tentang seorang yang sudah berupaya hidup sehat tapi masih bisa tertular. Masih banyak cerita tentang ‘korban’ itu.

Anyway, balik ke gerakan bagi-bagi kondom atau #Kondomisasi tadi. Cukup berterimakasih sebenarnya dengan pemerintah, khususnya kementrian kesehatan yang sudah bersusah payah mencegah penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia ini. Bahkan, mungkin masih ada beberapa yang ingat bahwa di hari pertamanya menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi langsung menyampaikan gagasan tentang penanganan HIV/AIDS di Indonesia yang akan ia lakukan. Luar biasa ya.. Tapi sepertinya ada yang rancu.

In my opinion, rasanya terlalu gegabah kalau memilih gerakan bagi-bagi kondom sebagai cara untuk mengurangi resiko terkena HIV/AIDS. Ada beberapa alasan kenapa aku bilang itu gegabah atau terkesan nggak cerdas.

Pertama, Gimana mungkin kondom bisa mencegah virus itu agar nggak masuk ke dalam sel-sel tubuh manusia, sementara ukuran virusnya dengan pori-pori kondomnya sangat jauh.

Pori-pori kondom cuman 1/60 mikron dan bisa membesar maksimal sampai 1/6 mikron saat dipakai. Sedang pori-pori virus HIV adalah 1/250 mikron. Jauh sekali bukan bedanya? dan berarti virus HIV itu akan tetap bisa masuk atau tertular pada diri seseorang meskipun ia telah memakia kondom.

Kedua, kondom itu bukan alat yang diranang buat mencegah virus HIV/AIDS, melainkan alat kontrasepsi.

Maksudnya apa? yaitu alat untuk mencegah terjadinya kehamilan karena sel sperma dan sel telur tidak bertemu. Jadi kondom sejatinya adalah alat yang dirancang untuk menekan angka kehamilan. Bisa jadi juga untuk mencegah penyakit kelamin lainnya sepertinya kencing nanah dan lain sebagainya. Yang jelas bukan untuk mencegah virus HIV/AIDS.

Ketiga, adanya gerakan bagi-bagi kondom gratis ini dapat menimbulkan pola pikir di masyrakat bahwa seks bebas itu dibolehkan.

Bahwa seks bebas itu diizinkan di Indonesia, bahkan didukung dengan adanya pembagian kondom. Bahwa kondom akan mengurangi resiko aborsi oleh wanita karena dapat menahan sel sperma untuk tidak masuk ke dalam dan bertemu sel telur.  Bahwa para pelaku seks bebas sudah tidak perlu khawatir lagi akan penyakit mematikan itu karena ada kondom. Bahwa kondom itu seolah-olah menjadi penyelamat segala penyakit kelamin dan virus HIV/AIDS. Agak bodoh menurutku. Masih tidak bisa masuk ke akal kalau kondom adalah solusi ideal.

Dengan adanya bagi-bagi kondom gratis, penyebaran virus HIV bukan jadi berkurang, justru akan semakin meningkat. Karena bagi-bagi kondom itu justru akan semakin meningkatkan resiko pergaulan atau seks bebas di Indonesia. Yang secara nggak langsung juga, Indonesia kini telah membenarkan zinah dan pelacuran. Terus bedanya sama negara-negara barat apa?

Di samping itu, kondomisasi bisa ‘memunahkan’ generasi muda di Indonesia. Jangan-jangan ini pembodohan bangsa barat terhadap kita. Semakin banyak remaja/pemuda melakukan seks bebas, lalu meninggal karena penyakit kelamin atau pun HIV/AIDS, maka jumlah penduduk usia produktif semakin berkurang. Pun sama jika yang melakukan bukan lagi remaja/pemdua. Mereka bisa berhenti melahirkan generasi-generasi selanjutnya.

Lalu solusinya apa?

Sex education maupun pendidikan tentang kesehatan reproduksi bisa jadi salah satu solusinya. Para remaja dibangun kesadarannya tentang seks yang sehat dan benar. Diberitahu resiko apa saja yang akan mereka dapatkan ketika melakukan seks bebas. Juga dengan pendekatan keagamaan. Pendidikan agama di sekolah2 lebih diperdalam. Di samping itu, pemerintah sebaiknya semakin meningkatkan layanan Internet Sehat. Sehingga situs-situs atau hal-hal yang berbau pornografi tidak dapat diakses dengan begitu mudahnya.

SELAMAT HARI AIDS sedunia, anyway. Jauhi virusnya, media penularannya, bukan orangnya!

*Dan masihkan kita berdiam diri melihat realita menyedihkan ini? Aku rasa kita kini sedang benar-benar disesatkan. Yukk, guys.. mari kita berpikir cerdas, #Tolak Kondomisasi #IndonesiaBermoral!

Standard